Gelar Karpet Saat Membuka Lahan dalam Pandangan Islam Salaf
Banyak masyarakat Indonesia memiliki tradisi menggelar karpet atau tikar ketika hendak membuka lahan baru. Tindakan ini dilakukan sebelum pembangunan rumah, toko, atau lahan pertanian dimulai. Dalam sebagian besar kasus, kegiatan ini dibarengi dengan acara selametan, doa bersama, atau permohonan restu dari masyarakat dan alam sekitar.
Namun, bagaimana praktik ini dilihat dalam perspektif Islam berdasarkan pemahaman Salafush Shalih — yaitu para sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in? Apakah tindakan ini termasuk dalam bagian dari syariat, mubah, bid’ah, atau bahkan mengandung unsur syirik?
Makna “Gelar Karpet” dalam Konteks Sosial dan Budaya
Sebelum masuk ke dalam pembahasan agama, penting untuk memahami bahwa menggelar karpet dalam konteks ini memiliki beberapa tujuan:
- Sebagai tempat duduk untuk berkumpul dan berdoa bersama
- Sebagai tempat mengadakan syukuran atau makan bersama
- Sebagai simbol pembukaan atau permulaan kegiatan pembangunan
Ada pula anggapan bahwa menggelar karpet dan mengadakan doa tertentu dapat “mengusir penghuni ghaib” atau memohon izin kepada roh penjaga tanah. Di sinilah titik kritis muncul dalam tinjauan Islam salaf.
Islam Salaf dan Prinsip Tauhid
Islam dengan manhaj salaf sangat menekankan pentingnya menjaga kemurnian tauhid, terutama dalam aspek ibadah dan keyakinan terhadap hal-hal ghaib. Setiap amalan yang mengandung unsur tawassul kepada selain Allah, keyakinan terhadap keberadaan jin yang harus dipuaskan, atau keyakinan bahwa suatu tempat harus "ditebus" dengan ritual tertentu agar tidak celaka, merupakan bentuk pelanggaran terhadap tauhid.
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
Gelar Karpet: Antara Adat dan Ibadah
Dalam pandangan ulama salaf, setiap perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari ibadah harus memiliki dalil yang jelas dari Al-Qur'an, hadits shahih, atau amalan para sahabat. Jika menggelar karpet hanya dimaksudkan untuk kenyamanan dan tidak diyakini mengandung unsur gaib atau ibadah, maka hukumnya bisa jadi mubah (boleh).
Namun jika penggelaran karpet ini dijadikan syarat keberkahan atau disertai dengan keyakinan bahwa ada “makhluk penunggu lahan” yang harus “diizinkan” terlebih dahulu, maka itu termasuk keyakinan batil dan tidak sesuai dengan aqidah Islam.
Fatwa Ulama Salafiyah Mengenai Tradisi Buka Lahan
Banyak ulama yang mengikuti manhaj salaf memberi peringatan tentang kebiasaan yang bercampur antara adat dan ritual. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah menyatakan bahwa segala bentuk permohonan keselamatan atau keberkahan dari selain Allah, baik kepada pohon, tempat, atau roh, merupakan bentuk syirik yang harus dihindari.
"Setiap keyakinan yang tidak berasal dari wahyu dan dijadikan dasar dalam amal ibadah, maka ia adalah bid’ah atau bahkan syirik, tergantung isi dan tujuannya." — Syaikh Al-Albani
Bagaimana Jika Diisi dengan Doa Bersama?
Jika gelar karpet hanya sebagai tempat duduk dan pertemuan masyarakat untuk membaca doa, dzikir, atau bahkan sekadar makan bersama sebelum memulai pekerjaan — tanpa keyakinan bahwa itu bagian dari ibadah khusus — maka ia hanya bernilai sebagai kegiatan sosial.
Akan tetapi, doa bersama sebelum membuka proyek harus tetap memperhatikan ketentuan syariat:
- Tidak membaca doa-doa yang tidak bersumber dari Nabi atau isinya menyimpang
- Tidak menyisipkan keyakinan bahwa tanah punya roh atau kekuatan tertentu
- Tidak menjadikan acara tersebut sebagai ritual wajib setiap kali membuka lahan
Contoh Doa yang Diajarkan Rasulullah ﷺ
Saat seseorang ingin memulai proyek atau memasuki tempat baru, Islam mengajarkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah. Contoh doa yang sesuai sunnah:
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah.”
(Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.)
Juga ketika memasuki suatu tempat baru atau hutan:
“A’udzu bikalimātillāhit-tāmmāti min sharri mā khalaq.”
(Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.)
Kapan Menggelar Karpet Jadi Masalah?
Masalah timbul ketika karpet dijadikan media ritual yang tidak disyariatkan. Misalnya:
- Karpet diberi sesajen
- Dibacakan mantra-mantra khusus tanpa dasar syariat
- Menjadi sarana memanggil arwah atau "minta izin" ke penjaga gaib
Dalam Islam, ini termasuk dalam kesyirikan atau tasyabbuh (menyerupai keyakinan kaum musyrik).
Sikap Salaf dalam Menghadapi Tradisi Adat
Ulama salaf tidak langsung menghapus adat masyarakat. Namun mereka memilah antara adat yang bertentangan dengan aqidah dan yang hanya bersifat sosial. Bila adat hanya soal duduk bersama atau kenyamanan, maka tidak mengapa. Tapi jika sudah menyangkut keyakinan ghaib, harus ditinggalkan.
Kesimpulan: Boleh atau Tidak?
- ✅ **Diperbolehkan**, jika menggelar karpet hanya sebagai tempat duduk atau kegiatan sosial biasa.
- ❌ **Tidak diperbolehkan**, jika disertai dengan keyakinan atau ritual yang bertentangan dengan tauhid dan sunnah.
Islam dengan manhaj salaf mengajarkan untuk menjaga kesucian niat dan menjauhkan segala bentuk kepercayaan yang tidak berasal dari Al-Qur'an dan sunnah. Sebagaimana para sahabat yang tidak pernah mengadakan ritual khusus saat memulai suatu pekerjaan, demikian pula seharusnya kita menjaga kemurnian ibadah.
Penutup
Jika kita hendak membuka lahan, hendaklah memulai dengan niat baik, bekerja dengan jujur, dan memohon pertolongan kepada Allah. Tanpa harus menyisipkan keyakinan mistik, karena Allah-lah pemilik segala lahan dan bumi. Doa yang diajarkan Nabi sudah cukup sebagai bekal spiritual kita.
Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua untuk kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman salaf, serta meninggalkan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam.

Posting Komentar